Kamis, 24 Mei 2012

"Kidung untuk calon suamiku"

oleh Nuria Fitriany-salsabila Slalu-Berdo'a pada 12 Juli 2010 pukul 22:01 ·
Wahai calon suamiku...
sungguh aq tak mengingnkan moe mempunyai wajah setampan nabi yusuf As.
aq jg tak berharap engkau mempunyai harta seluas perbendahara'an nabi sulaiman As.
ataupun kekuasa'an yg seluas keraja'an nabi Muhammad SAW,yang mampu mendebarkan hati juta'an gadhis untuk terpikat.
READ MORE - "Kidung untuk calon suamiku"

="JANGAN MARAHI AKU"=

oleh Nuria Fitriany-salsabila Slalu-Berdo'a pada 22 Juli 2010 pukul 8:46 ·
=......""untuk calon mertua q""......=

wahai kau calon ibu mertuaku....
mungkin aq asing bg mu..
dan kau pun asing bagiku...
namun semoga ht qt tak kan ada kata asing untk sebuah cinta...
READ MORE - ="JANGAN MARAHI AKU"=

Kamis, 29 Juli 2010

Rugi Kalau Tidak Dibaca: Kumpulan Catatan - Hukum Tentang Menyingkat Penulisan Shalawat Dengan ‘SAW’

Penulisan shalawat kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak selayaknya untuk disingkat dengan ‘SAW’ atau yang semisalnya. Termasuk dalam hukum ini juga adalah penulisan subhanahu wata’ala disingkat menjadi SWT, radhiyallahu ‘anhu menjadi RA, ‘alaihissalam menjadi AS, dan sebagainya. Berikut penjelasan Al-Imam Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah disertai dengan perkataan ulama salaf terkait dengan permasalahan ini.

Sebagaimana shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu disyari’atkan ketika tasyahhud di dalam shalat, disyari’atkan pula di dalam khuthbah-khuthbah, do’a-do’a, istighfar, setelah adzan, ketika masuk masjid dan keluar darinya, ketika menyebut nama beliau, dan di waktu-waktu yang lain, maka shalawat ini pun juga ditekankan ketika menulis nama beliau, baik di dalam kitab, karya tulis, surat, makalah, atau yang semisalnya.

Dan yang disyari’atkan adalah shalawat tersebut ditulis secara sempurna sebagai realisasi dari perintah Allah ta’ala kepada kita, dan untuk mengingatkan para pembacanya ketika melalui bacaan shalawat tersebut.

Tidak seyogyanya ketika menulis shalawat kepada Rasulullah dengan singkatan ‘SAW’[1] atau yang semisal dengan itu, yang ini banyak dilakukan oleh sebagian penulis dan pengarang, karena yang demikian itu terkandung penyelisihan terhadap perintah Allah subhanahu wata’ala di dalam kitabnya yang mulia:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)



Bersamaan dengan itu tidaklah tercapai dengan sempurna maksud disyari’atkannya shalawat dan hilanglah keutamaan yang terdapat pada penulisan shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sempurna. Dan bahkan terkadang pembaca tidak perhatian dengannya atau tidak paham maksudnya (jika hanya ditulis ‘SAW’)[2]. Dan perlu diketahui bahwa menyingkat shalawat dengan singkatan yang seperti ini telah dibenci oleh sebagian ahlul ‘ilmi dan mereka telah memberikan peringatan agar menghindarinya.

Ibnush Shalah di dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits’ atau yang dikenal dengan ‘Muqaddamah Ibnish Shalah’ pada pembahasan yang ke-25 tentang ‘penulisan hadits dan bagaimana menjaga kitab dan mengikatnya’ berkata:


“Yang kesembilan: hendaknya menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebut nama beliau dan jangan merasa bosan untuk mengulanginya (penulisan shalawat tersebut) jika terulang (penyebutan nama beliau) karena sesungguhnya hal itu merupakan faidah terbesar, yang tergesa-gesa padanya para penuntut hadits dan para penulisnya (sehingga sering terlewatkan, pent). Dan barangsiapa yang melalaikannya, maka sungguh dia telah terhalangi dari keberuntungan yang besar. Dan kami melihat orang-orang yang senantiasa menjaganya mengalami mimpi yang baik, apa yang mereka tulis dari shalawat itu merupakan do’a yang dia panjatkan dan bukan perkataan yang diriwayatkan. Oleh sebab itu tidak ada kaitannya dengan periwayatan, dan tidak boleh mencukupkan dengan apa yang ada di dalam kitab aslinya.

Demikian juga pujian kepada Allah subhanahu wata’ala ketika menyebut nama-Nya seperti ‘azza wajalla, tabaraka wata’ala, dan yang semisalnya.”



Sampai kemudian beliau mengatakan:


“Kemudian hendaknya ketika menyebutkan shalawat tersebut untuk menghindari dua bentuk sikap mengurangi. Yang pertama, ditulis dengan mengurangi tulisannya, berupa singkatan dengan dua huruf atau yang semisalnya. Yang kedua, ditulis dengan mengurangi maknanya, yaitu dengan tanpa menuliskan ‘wasallam’.

Diriwayatkan dari Hamzah Al-Kinani rahimahullahu ta’ala, sesungguhnya dia berkata:

“Dahulu saya menulis hadits, dan ketika menyebut Nabi, saya menulis ’shallallahu ‘alaihi’ tanpa menuliskan ‘wasallam’. Kemudian saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam mimpi, maka beliau pun bersabda kepadaku: ‘Mengapa engkau tidak menyempurnakan shalawat kepadaku?’ Maka beliau (Hamzah Al-Kinani) pun berkata: ‘Setelah itu saya tidak pernah menuliskan ’shallallahu ‘alaihi’ kecuali saya akan tulis pula ‘wasallam’.



Ibnush Shalah juga berkata:


“Saya katakan: Dan termasuk yang dibenci pula adalah mencukupkan dengan kalimat ‘alaihis salam’, wallahu a’lam.”



-Selesai maksud dari perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.

Al-’Allamah As-Sakhawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitabnya ‘Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi’ berkata:


“Jauhilah -wahai para penulis- dari menyingkat shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tulisan engkau dengan dua huruf atau yang semisalnya sehingga penulisannya menjadi kurang sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kattani dan orang-orang bodoh dari kebanyakan kalangan anak-anak orang ‘ajam dan orang-orang awam dari kalangan penuntut ilmu. Mereka hanya menuliskan “ص”, “صم”, atau “صلم” sebagai ganti shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang demikian itu di samping mengurangi pahala karena kurangnya penulisannya, juga menyelisihi sesuatu yang lebih utama.”



As-Suyuthi rahimahullah di dalam kitabnya ‘Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi’ berkata:


“Dan termasuk yang dibenci adalah menyingkat shalawat atau salam di sini dan di setiap tempat/waktu yang disyari’atkan padanya shalawat, sebagaimana yang diterangkan dalam Syarh Shahih Muslim dan yang lainnya berdasarkan firman Allah ta’ala:

“>يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56).



Beliau juga berkata:


“Dan dibenci pula menyingkat keduanya (shalawat dan salam) dengan satu atau dua huruf sebagaimana orang yang menulis “صلعم”, akan tetapi seharusnya dia menuliskan keduanya dengan sempurna.”



-Selesai maksud perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.

Asy-Syaikh bin Baz kemudian mengatakan:


Dan wasiatku untuk setiap muslim, para pembaca, dan penulis agar hendaknya mencari sesuatu yang afdhal (lebih utama) dan sesuatu yang padanya ada ganjaran dan pahala yang lebih, serta menjauhi hal-hal yang membatalkan atau menguranginya.

Kita memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar memberikan taufiq untuk kita semua kepada sesuatu yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Maha Mulia.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.

(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Al-Imam Ibni Baz, II/397-399)



Diterjemahkan dari: http://sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=871
-----------------------------
Foot Note:

[1] Dalam tulisan Arab, penyingkatan shalawat ini biasanya dengan huruf ص, صلم, atau صلعم.

[2] Dan ini terkadang kita jumpai, seseorang yang membaca singkatan ini (SAW atau SWT dan yang lainnya), dia hanya mengeja huruf-huruf tersebut tanpa melafazhkan shallallahu ‘alaihi wasallam maupun subhanahu wata’ala. Mungkin dia sengaja melakukannya walaupun tahu maksud SAW/SWT, atau bahkan mungkin juga dia tidak tahu maksud singkatan tersebut. Wallahul Musta’an.

Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=479

=========================

Menyingkat Shalawat dengan SAW

Oleh: Al Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal:

Bolehkah menulis huruf ص yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:

Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf – ص atau ص- ع – و (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis.

Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa, – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa No.5069)

Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/
enjoiningthegood/0020919.htm untuk http://ulamasunnah.wordpress.com/

=====================

Adab Salam dan Shalawat

Salah satu bentuk ibadah yang terlalaikan, namun dianggap sebagai hal biasa di kalangan kaum muslimin sekarang ini adalah menulis salam dan shalawat dengan disingkat. Padahal telah diketahui bahwa dalam kaidah penggunaan bahasa Arab, kesempurnaan tulisan dan pembacaan lafadz akan mempengaruhi arti dan makna dari sebuah kata dan kalimat.

Lalu, bagaimana jika salam dan shalawat disingkat dalam penulisannya?
Apakah akan merubah arti dan makna kalimat tersebut?

Adab Menulis Salam

Kata salaam memuat makna keterbebasan dari setiap malapetaka dan perlindungan dari segala bentuk aib dan kekurangan. Salaam juga berarti aman dari segala kejahatan dan terlindung dari peperangan. Oleh karena itu, Islam memerintahkan supaya menampakkan salam dan menyebarluaskannya (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin, Bab Keutamaan Salam dan Perintah Untuk Menyebarluaskannya).

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya, “Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (Qs. An-Nisaa’: 86)

Yang dimaksud dengan penghormatan pada ayat diatas adalah ucapan salam, yaitu:

1. Assalaamu ‘alaykum
2. Atau assalaamu ‘alaykum warahmatullaah
3. Atau assalamu ‘alaykum warahmatullaah wabarakaatuh

Dalam ayat diatas juga terdapat perintah untuk membalas salam dengan yang lebih baik atau serupa dengan itu. Misalkan ada yang memberi salam dengan ucapan assalaamu ‘alaykum maka balaslah dengan yang serupa, yaitu wa’alaykumussalaam. Atau yang lebih baik dari itu, yaitu, wa’alaykumussalaam warahmatullaah, dan seterusnya.

Dari ayat yang mulia di atas dapat diketahui bahwa hukum menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau sama dengan apa yang diucapkan adalah fardhu atau wajib. Sedangkan membalas salam dengan lafadz yang lebih baik dari itu hukumnya adalah sunah. Dan berdosalah orang yang tidak menjawab atau membalas salam dengan lafadz yang serupa atau yang lebih baik dari itu. Karena dengan sendirinya dia telah menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memerintahkan untuk membalas salam orang yang memberi salam kepada kita (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Al-Masaail, Masalah Kewajiban Membalas Salam).

Dari penjelasan di atas, lafadz “aslkm” bahkan “ass” dan singkatan yang sejenisnya bukan termasuk dalam kategori salam. Dan bagaimana lafadz-lafadz tersebut dapat disebut salam, sementara dalam lafadz tersebut tidak mengandung makna salam yaitu penghormatan dan do’a bagi penerima salam. Bahkan lafadz “ass”, dalam perbendaharaan kosa kata asing memiliki pengertian yang tidak sepantasnya, bahkan mengandung unsur penghinaan (wal ‘iyyadzubillah).

Adab Menulis Shalawat

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, yang artinya,“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzaab: 56)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya dan membersihkan beliau dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.

Yang dimaksud shalawat Allah adalah puji-pujian-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat adalah do’a dan istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat beliau adalah do’a dan mengagungkan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Disunnahkan –sebagian ulama mewajibkannya– mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan: “shallallahu ‘alaihi wa sallam” (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,


“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dengan sanad shahih)



Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa disunnahkan bagi para penulis agar menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau.

Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga mengatakan dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dengan lisan dan tulisan.

Ketahuilah saudariku, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dengan makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan bagian dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dalam beribadah dengan menyingkat salam dan shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita berbagai ilmu tentang dien ini?

Saudariku, apakah kita ingin menjadi hamba-hamba-Nya yang lalai dari kesempurnaan dalam beribadah?

Wallahu Ta’ala a’lam bish showwab.

Maraji’:

1. Al-Qur’an dan terjemahan.
2. Al-Masaail Jilid 7, karya al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah.
3. Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin (Terjemah) Jilid 3 dan 4, takhrij oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cetakan Pustaka Imam asy-Syafi’i.
4. Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
5. Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah Li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Terjemah) karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy, Edisi Indonesia Syarh al-’Aqidah al-Wasithiyah, penerjemah Hawin Murtadho, cetakan Pustaka at-Tibyan.

***

Penulis: Ummu Sufyan bintu Muhammad
Muraja’ah: ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar

Artikel muslimah.or.id

========================

UNTUK PARA PENULIS

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dianjurkan bagi penulis hadits apabila melalui penyebutan (nama) Allah ‘azza wa jalla agar menuliskan kata-kata ‘azza wa jalla (yang maha perkasa lagi mulia) atau ta’ala (yang maha tinggi), atau subhanahu wa ta’ala (yang maha suci lagi tinggi), atau tabaraka wa ta’ala (penuh berkah dan maha tinggi), atau jalla dzikruhu (yang mulia sebutannya), atau tabarakasmuhu (pemilik nama yang penuh berkah), atau jallat ‘azhamatuhu (maha mulia kebesarannya), atau yang serupa dengannya. Begitu pula hendaknya menuliskan kata-kata shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sempurna ketika menyebutkan nama Nabi (Muhammad), tidak dengan menyingkatnya, dan tidak pula mencukupkan diri pada salah satunya (salam atau shalawat saja).”

“Demikian pula dikatakan radhiyallahu’anhu ketika menyebut nama Sahabat. Apabila Sahabat itu anak dari Sahabat yang lain, maka dikatakan radhiyallahu’anhuma. Hendaknya juga mendoakan keridhaan dan rahmat bagi segenap ulama dan orang-orang baik/salih. Hendaknya semua ucapan tersebut ditulis, meskipun dalam naskah aslinya tidak tertulis, karena hal ini bukan termasuk periwayatan, namun sekedar doa. Orang yang membaca (hadits) juga hendaknya membaca setiap ucapan yang telah kami sebutkan tadi, meskipun di dalam teks yang dibacanya doa-doa tersebut tidak disebutkan. Janganlah dia merasa bosan mengulang-ulanginya. Barangsiapa yang lalai melakukannya niscaya akan terhalang meraih kebaikan yang amat besar dan kehilangan keutamaan yang sangat agung.” (Muqadimah Syarh Muslim, 1/204).

Oleh sebab itu perbuatan sebagian orang menyingkat shalawat dan salam menjadi shad atau shad-lam-’ain-mim adalah sunnah sayyi’ah (kebiasaan yang buruk). Begitu pula tulisan saw yang sering kita baca di buku-buku terjemahan atau asli bahasa Indonesia. Dikisahkan oleh As-Suyuthi rahimahullah di dalam Tadribu Ar-Rawi bahwa orang yang pertama kali menuliskan shad-lam-’ain-mim dihukum dengan dipotong tangannya [!!] (Dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 249).

Sumber: http://abu0mushlih.wordpress.com/2008/11/18/untuk-para-penulis/

-Admin MFPU-
READ MORE - Rugi Kalau Tidak Dibaca: Kumpulan Catatan - Hukum Tentang Menyingkat Penulisan Shalawat Dengan ‘SAW’

**UNTUK CALON ISTRIKU KELAK**

Duhai Ukhti….apa kabarmu?

Jikalau tiba saatnya bertemu…
bersabarlah dinda dengan kekuranganku….
bersabarlah dinda dengan apa yang tampak sekilas….
sesungguhnya aku ini hanyalah seseorang anak adam yang
biasa-biasa saja….
yang biasa dipandang sebelah mata….

Ukhti yang baik….
Jika Allah memang memilihku tuk mendampingimu….

Kumohon….
Hendaklah dinda selalu mengingatkan diriku yang
lemah ini….

Yang mungkin menelantarkan hak-hakmu….
Yang mungkin lupa diri dan tak tau diri….
Yang mungkin lupa akan kewajibanku ini….

Ukhti….pilihanku
Terimalah salamku ini….
Jagalah dirimu dengan sebaik-baiknya ukhti….

Berimanlah pada Allah swt….
dan bertakwalah pada Allah….
Patuhilah Allah dan Rasulnya….
Jangan terbawa oleh arus musuh-musuh Islam ukhti….

Ingatlah…..
Sesungguhnya Allah swt. bersama orang-orang yang
sabar….

Jikalau bukan takdir kita untuk bertemu….
Doaku semoga Allah mempertemukanmu dengan Ikhwan yang
lebih baik dariku….

Yang akan membahagiakanmu di dunia dan membimbingmu menuju
kebahagiaan akhirat….
Akhir kata….


Wassalam.

(Hamba Allah)

http://kebunhidayah.wordpress.com/
READ MORE - **UNTUK CALON ISTRIKU KELAK**

Risalah Puasa Bersama Syaikh Shalih Al-Utsaimin

http://jilbab.or.id/archives/132-risalah-puasa-bersama-syaikh-shalih-al-utsaimin/

Ukhti muslimah bulan ramadhan telah menghampiri kita, tentu banyak hal yang ingin ukhti ketahui tentang segala hal yang berhubungan dengan puasa. Hati akan terasa lebih mantap apabila mendapatkan sumbernya langsung dari ulama salaf kita. Syaikh Shalih Utsaimin rahimahullah memaparkan tentang masalah puasa ini dalam kutaibnya yang amat jelas dan gamblang, mencakup hukum puasa, golongan orang-orang yang berpuasa, hal-hal yang membatalkannya, dan beberapa hal penting yang berkaitan dengan puasa.Nah,selamat menyimak,�semoga Allah menerima amal dan ibadah kita selama bulan ramadhan ini,amiin.


Puasa



1. Puasa adalah beribadah kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang membatalkannya, mulai dari waktu fajar hingga matahari terbenam.

2. Puasa di bulan ramadlan merupakan salah satu rukun islam. Sebagaimana Nabi bersabda : “Islam berdiri atas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan yang hak selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan ramadlan, dan berhaji ke Baitullah”.

Kelompok orang-orang dalam puasa

1- Puasa hukumnya wajib bagi setiap muslim yang baligh, berakal, mampu dan tidak dalam bepergian.

2- Orang kafir tidak berkewajiban puasa, dan tidak wajib membayarnya (qadla puasanya) jika ia masuk islam.

3- Anak kecil yang belum baligh tidak wajib puasa, akan tetapi orang tuanya hendaknya menganjurkan untuk berpuasa agar terbiasa.

4- Orang gila tidak wajib puasa, juga tidak harus memberi makan orang lain sebagai fidyah, meskipun orang yang gila tersebut sudah dewasa atau tua. Demikian pula orang tua yang pikun tidak mampu membedakan hari puasa atau tidak. Juga orang cacat mental yang juga tidak dapat membedakan puasa dan tidak.

5- Orang yang tidak mampu puasa sama sekali. Dikarenakan tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh. Akan tetapi ia harus membayarnya dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin.

6- Orang sakit, yang jika ia puasa terasa berat menunaikannya, dan sakitnya itu ada harapan sembuh, maka boleh tidak puasa akan tetapi ia harus membayarnya jika ia telah sembuh.

7- Wanita hamil dan wanita yang menyusui, jika mereka berat untuk menunaikan puasa, dikarenakan hamil dan menyusui, atau hawatir terhadap bayinya. Maka mereka diperbolehkan tidak puasa, akan tetapi harus mengqodlo puasa yang tertinggal setelah mampu atau hilang rasa hawatir mereka.

8- Wanita yang sedang haid atau sedang nifas, mereka diharamkan berpuasa, akan tetapi mereka harus membayar puasa yang tertinggal.

9- Orang yang terpaksa untuk tidak puasa, dikarenakan menolong orang yang tenggelam atau kebakaran, dan ia harus mengqodlonya.

10-Orang musafir, ia boleh puasa atau tidak, dan wajib mengqodlonya. Bepergian itu boleh karena keperluan mendadak, seperti umrah atau silaturrahmi dll. Atau bepergian yang sudah menjadi kebiasaannya sebagai tugas, seperti seorang supir taksi atau bis, selama ia keluar kota.



Hal-hal yang membatalkan puasa

1- Jima’ / bersetubuh : Jika seseorang melakukan jima’ saat ia puasa di bulan ramadlan, maka ia wajib melanjutkan puasanya hari itu, ia juga diwajibkan mengqadlanya dan menerima kewajiban yang amat berat yaitu memerdekakan budak. Jika ia tidak menemukan, maka ia wajib berpuasa selama dua bulan berturut tanpa putus, jika tidak mampu memberi makan sebanyak 60 orang miskin.

2- Keluarnya sperma dalam keadaan terjaga ( tidak tidur ), dengan disebabkan onani, bermesraan, berciuman, merangkul, atau yang lain-lain.

3- Makan dan minum sesuatu yang berguna bagi tubuh atau yang berbahaya, seperti merokok.

4- Suntikan yang berfungsi sebagai pengganti makanan seperti infus. Karena hal itu termasuk dalam kategori makan dan minum. Adapun suntikan yang tidak berfungsi sebagai pengganti makan dan minum, maka tidak mambatalkan puasa, walau suntikan itu di pembuluh darah atau lainnya, meskipun obat suntikan itu terasa di tenggorokan.

5- Transfusi darah, termasuk membatalkan puasa. Seperti seorang yang banyak mengeluarkan darah sehingga harus ditambah darahnya, sebagai pengganti darah yang keluar.

6- Keluarnya darah haidl atau nifas.

7- Mengeluarkan darah dengan bekam atau sejenisnya. Adapun keluar darah dengan sendirinya seperti mimisan atau keluar darah dikarenakan dicopot giginya, maka tidak termasuk mambatalkan puasa karena tidak tergolong hijamah (bekam).

8- Muntah yang disengaja, adapun tanpa sengaja maka tidak membatalkan puasa.



Perlu diingat

Seseorang tidak batal puasanya, jika hal-hal di atas dilakukan dengan alasan lupa, atau tidak tahu hukumnya, dan atau karena terpaksa. Sebagaimana firman Allah

(( ��������� ��� ������������ ���� ��������� ���� ����������� ))

Artinya : ( Ya Tuhan kami jangan Engkau murkai kami jika kami lupa dan bersalah ). Al-Baqarah : 286

Dan firman Allah :

(( ������ ���� �������� ���������� ����������� �������������� ))

Artinya : ( .. kecuali orang yang terpaksa sedang hatinya tetap tenang dalam memegang iman ). An-Nahl:106



Dan firman Allah :

(( �������� ���������� ������� ������� ������������ ���� �������� ��� ����������� ������������ ))

Artinya: ( Tidaklah kamu mendapat dosa kesalahan yang kamu lakukan dengan tidak sengaja, akan tetapi apa yang kamu sengajakan untuk melakukannya (termasuk dosa). Al-Ahzab:5



Jika ada seseorang yang makan atau minum keadaan puasa dan melakukannya karena lupa, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Begitu juga halnya, bila ada seseorang makan atau minum dan ia meyakini bahwa matahari sudah tenggelam, atau waktu fajar belum muncul, maka hal itu juga tidak termasuk menjadi batal puasanya, karena dia tidak tahu (jahil). Juga seperti seseorang yang berkumur, tanpa tersadari airnya masuk ke tenggorokan maka tidak pula batal puasanya, karena ia tidak sengaja. Andaikan seseorang tidur bermimpi sampai keluar sperma, itupun tidak batal karena tanpa kesadarannya.



Hal-hal penting bagi yang berpuasa.

1- Diperbolehkan seseorang berniat puasa, sedang dia dalam keadaan junub (belum mandi jenabat) kemudian mandi jenabat setelah fajar tiba.

2- Bagi wanita, setelah bersih dari haidh atau nifasnya di bulan ramadlan sebelum fajr, tetap menunaikan puasa, meskipun bersucinya (mandi) setelah fajar tiba. Akan tetapi diwajibkan berniat sebelum terbit fajar.

3- Diperbolehkan untuk mencabut giginya, mengobati lukanya, dan meneteskan obat ke matanya atau kupingnya, dan itu tidak membatalkan puasa. Walaupun ia merasakan sesuatu di tenggorokannya.

4- Diperbolehkan seseorang untuk menggunakan siwak atau sikat gigi. Dan itu tetap hukumnya termasuk sunnah sebagaimana di saat tidak puasa.

5- Diperbolehkan melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa panas, gerah dan haus dengan menyiramkan air atau masuk di ruangan ber AC .

6- Diperbolehkan seseorang yang puasa menyemprotkan obat ke mulutnya untuk meringankan dan membantu pernapasannya, jika dia menderita sakit sesak napas.

7- Diperbolehkan membasahi bibirnya dengan air jika kering. Begitu juga boleh untuk berkumur-kumur.

8- Disunnahkan mengakhirkan sahur menjelang fajar, menyegerakan buka puasa setelah matahari tenggelam. Disunnahkan pula berbuka dengan kurma setengah matang, kalau tidak ada dengan kurma (yang matang), kalau tidak ada dengan air, kalau tidak ada dengan makan apa saja cukup dengan niat di hati sampai dia dapat makanan.

9- Bagi yang berpuasa, perbanyaklah menunaikan ibadah, ketaatan, dan menjauhi larangan-larangan.

10- Wajib hukumnya bagi seorang yang puasa (khususnya) untuk memelihara kewajiban-kewajiban dan menjauhi segala larangan. Khususnya shalat fardhu pada waktunya dengan berjamaah, bagi lelaki. Meninggalkan dusta, ghibah, namimah, mu’amalah dengan uang-uang riba, bebicara dan sebagai saksi dusta dll. Sehingga jangan sampai tergolong sebagai seorang yang disinyalir Nabi Shalallahu alaihi wassalam dalam hadist beliau yang berbunyi:



���� ���� ������ ������ ��������� ����������� ���� ����������� �������� ����� ������� ���� ���� ������ ��������� �����������



Artinya : ” Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan bohong dan melakukan kebohongan, juga kebodohan, maka Allah tidak butuh dengannya walau ia meninggalkan makan dan minumnya”. (HR.Bukhari no.1819)



����������� ���� ����� �������������� �������� ����� ����� ���������� ��������� ������� ����� ���������� ������������





Risalah : diterjemahkan oleh Baihaqi Abu Syarahbiel
READ MORE - Risalah Puasa Bersama Syaikh Shalih Al-Utsaimin

Menghadapkan diri kepada ilmu

Jika engkau melihat kekurangan2mu,bahkan kepada kenyataan bahwa engkau tidak ada apa2nya dibandingkan para 'ulama terdahulu semisal Al-hafizh Ibnu Katsir rohimahulloh serta yg mendahului beliau dari kalangan huffazh yg terkemuka dalam berbagai disiplin ilmu.jika engkau melihat kepada ilmu yg ada pada mereka niscaya engkau akan menyibukkan dirimu dari melakukan berbagai kritikan terhadap orang lain.
READ MORE - Menghadapkan diri kepada ilmu

"Ada Hawa Permusuhan Dalam Dengki."

"Setiap hamba Allah menginginkan semua amalnya bernilai tinggi, agar ada tabungan pahala untuk kelak di hari pembalasan. Tapi tak semua hamba Allah menyadari kalau suatu saat amalnya berkurang drastis dengan satu sebab, dan sebab itu adalah kesibukan dengki yang tak pernah usai."




"Ada ciri khusus seorang mukmin dalam interaksinya dengan sesama mukmin. Itulah yang digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa sallam dengan sabda beliau; "Tiada beriman seorang dari kamu sehingga dia mencintai segala sesuatu bagi saudaranya yang dia cintai bagi dirinya."

(HR. Al-Bukhari).



Kadang ciri kekhususan itu hilang bersamaan dengan munculnya dengki.
Ia tak lagi sadar bahwa seorang mukmin punya ciri cinta. Kurang dari itu, ia tak lagi pantas menyandang posisi istimewa sebagai orang yang beriman.


Dengki bukan hanya melepas jalinan cinta antara sesama mukmin, tapi lebih dari itu dengki juga memunculkan hawa permusuhan.

Ada jarak bathin ketika dua hamba Allah yg dijangkiti dengki itu bertemu.

1.
Tatapan menjadi penelusuran sebuah kecurigaan,

2.
Senyum menjadi basa-basi hambar.

Astaghfirullah hal adzim, Naudzubillah!.





Bahkan, panasnya permusuhan sudah sangat terasa hanya karena nama orang yang didengki disebut orang. Terlebih ketika penyebutan berkenaan dengan keistimewaan atau kemuliaan. Dengki langsung menggiring hati dan fikiran secara optimal mengolah reaksi. Saat itu, tak ada setitik kebaikan pun terlihat dari kacamata dengki. Semuanya buruk!.


Alangkah Indahnya hidup tanpa dengki.
Siang menggairahkan fisik untuk berkarya,
dan malam mententramkan hati untuk lelap beristirahat.


Sungguh Indah nasehat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam buat generasi penerus beliau;


"Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah
(untuk suatu persaingan yang tidak sehat), saling membenci, saling memusuhi dan jangan pula saling menelikung transaksi orang lain. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara muslimnya yang lain, ia tidak mendzaliminya, tidak mempermalukannya, tidak mendustakannya, dan tidak pula melecehkannya. Taqwa adalah tempatnya di sini - seraya Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa sallam menunjuk ke dadanya tiga kali."

(HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu).


Subhanallah !



Allaahumma Shalli 'alaa Muhammadin Wa 'alaa aali Muhammadin wabaarik Wa sallim aj'main.


"Yaa Allah, limpahkanlah Rahmat, berkah dan salam kepada Nabi Muhammad, dan kepada keluarga Nabi Muhammad serta sahabat."


" Yaa Allah berikan kepada kami kebaikan dunia dan akhirat, dan mudahkanlah kepada kami kesulitan-kesulitan dunia dan akhirat dengan kebenaran Al-Qur'an dan kebenaran Nabi Muhammad dan seluruh keluarga beserta sahabatnya, Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas Segala sesuatu."



Aamiin Yaa Rabbbal Alamiin.





"Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah tentu diadakan-Nya jalan keluar baginya dan memberinya Rezeki dari 'pintu' yang tidak diduga-duga olehnya. Barang siapa yang bertawaqqal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya. Bahkan sesungguhnya Allah pelaksana semua peraturan-Nya. Dan Allah Allah juga telah menjadikan segala-galanya serba berukuran."

"Cukup berdosa orang yang diingatkan agar bertaqwa kepada Allah, dia marah."
(HR. Ath-Thabrani).

Dan sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati."(HR. Ahmad dan Tirmidzi).

"Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi yang takut, terlalu panjang bagi yang gundah, dan terlalu pendek bagi orang yang bahagia. Tapi bagi yang beriman Waktu itu adalah bagaikan sebuah pedang, apabila tidak bisa memanfaatkannya, maka pedang itu sendiri yang akan menebas lehernya...."

Oleh karena itu, mumpung masih
ada waktu dan kesempatan,

Saya beserta keluarga mohon maaf lahir & bathin, atas segala kesalahan yang saya perbuat kepada sahabat, ibu-ibu dan bapak-bapak, seiring itu pula saya mengucapkan Marhaban Ya Ramadhan, semoga kita bertemu di bulan Suci yang penuh berkah ini, Aamiin Yaa Rabbal Alamiin, ^_^.



Hyperlink ke Facebook
READ MORE - "Ada Hawa Permusuhan Dalam Dengki."