Minggu, 03 Januari 2010

PROMO..GRATIS..!!!

Daftarkan diri anda dan bergabung segera ke dalam ISLAM
karena ISLAM adalah jalan keselamatan..DIJAMIN..!!

cepetan..JANGAN TUNDA lagi..karena waktu anda TERBATAS..!!!

keuntungan yang anda peroleh jika bergabung dengan ISLAM:
1. Hati tenang
2. Kesempatan menjadi saudara kaum muslimin di seluruh dunia.
3. Anda akan dibimbing langsung oleh ALLAH dan Rasulullah melalui buku panduan yang ada (Al-Qur’an dan hadis)
4. dan masih banyak keuntungan lainnya yang akan anda ketahui setelah register..

TIDAK HANYA ITU..!!
anda juga akan mendapatkan BONUS..
1. BONUS tiket ke syurga bersama kawan-kawan muslim seluruh dunia. (ketentuan berlaku-bisa dibaca di buku panduan “AL-Quran dan Hadis”)
2. BONUS reseller..jika anda mendapatkan downline melalui anda, maka anda akan memperoleh pahala yang luar biasa BESAR..senilai “Unta Merah” (lambang kekayaan orang ARAB) semakin banyak downline semakin besar BONUS pahala yang akan anda terima

cukup dengan mengajak 2 orang teman anda bergabung..tidak sulit kan??
kemudian 2 orang teman anda masing2 mengajak 2 orang lagi untuk bergabung,,kemudian begitu seterusnya..

BAYANGKAN berapa BONUS yang akan anda terima???
luar biasa bukan??
rekening pahala anda bisa anda lihat NANTI di PADANG MASYHAR

simak testimonial dari orang2 yang telah bergabung bersama ISLAM. bisa dibaca di

Buku : Saya Memilih Islam (Kisah Orang-orang yang Kembali ke Jalan
Allah)
Penyusun : Abdul Baqir Zein
Penerbit : Gema Insani Press Jakarta 1999

dan buku sejenis lainnya

INGAT..WAKTU ANDA TERBATAS..karena promo ini berlaku sampai matahari terbit dari barat (mungkin tak lama lagi).. dan anda akan trus diberi kesempatan seumur hidup..

WARNING..!!
PROMO INI TIDAK BERLAKU BUAT ANDA YANG NAFASNYA SUDAH DI KERONGKONGAN..!!

jadi,,jangan tunda lagi
GRATIS dan caranya sangatlah MUDAH..
anda tidak perlu menghabiskan waktu 1 jam di depan komputer..dimanapun anda berada(selama masih di dunia)..anda bisa bergabung bersama kami..

caranya :
klik (ketuk) pintu hati anda, kemudian akan muncul kotak kecil yang berisi pertanyaan “anda yakin ingin register” jagan ragu untuk klik “YAKIN” kemudian ucapkanlah “ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH”

dan dalam waktu kurang dari 1 detik pesan akan masuk ke hati anda..periksa di kotak masuk dan buka,,insyaALLAH hati anda akan tenang…
langkah selanjutnya bisa di baca di buku panduan..(AL-QUr’an dan Hadis) yang bisa anda peroleh di toko buku terdekat..atau hubungi kami

KABAR GEMBIRA..
masih ada BONUS buat anda
ANDA akan mendapatkan bonus produk PENGHAPUS DOSA sekali pakai..yang secara otomatis akan bekerja setelah anda selesai register..dan secara otomatis dosa-dosa anda yang telah lalu TERHAPUS..
LUAR BIASA..!!

INGAT..hanya sekali pakai..jika anda masih ingin memiliki produk tersebut..anda bisa download gratis dari AL-QUR’AN dan HADIS..temukan caranya di sana.

JANGAN remehkan buku panduan..karena tanpa buku panduan anda tidak akan bisa menjalani program ini dengan benar..dan bonus2 yang telah dijanjikan bisa hangus.

BUKU PANDUAN SANGAT PENTING..
karena berisi :
1. petunjuk ke arah kebenaran
2. kisah2 orang2 terdahulu yang telah sukses menjalankan program ni..n kita bisa petik pelajaran darinya.
3. gambaran tentang kejadian hari akhir
4. gambaran tentang indahnya SYURGA dan DAHSYATnya NERAKA
5. do’a-do’a yang bisa anda panjatkan kepada ALLAH jika anda mengalami kesulitan dalam menjalani program kehidupan ini..
6. dan lain-lain
READ MORE - PROMO..GRATIS..!!!

Laa Takhzan

"Jika bahagia hadir di QONA AH -nya hamba sahaya..."

"Mengapa Tidak Belajar Darinya..????"

...LAA TAKHZAN......

"Titik kemurnian adalah penerimaan segala tiba"

"Titik kepuasan adalah puncak perjuangan"

"Dan titik kebahagiaan adalah pintu kematian.

"Maka jangan bimbang dengan gemerlap dunia."

"Keluarkan dari Hatimu, dan Letakkan di Tangan Kananmu.."


"Allahumma Inni As Aluka Hubbaka
(Ya Allah... sesungguhnya aku memohon kepadaMu untuk tetap mencintaiMu)

"Wahubba Maa Yuhibbuka "
(dan cintanya orang yang mencintaiMu)

"Wal Amalalladzii Yuballighunii Hubbaka... "
(serta beramal yang bisa menyampaikan kepadaku untuk mencintaiMu...)


Depok, Bumi Allah 3 januari 2010
READ MORE - Laa Takhzan

Jagalah Diri dan Keluarga dari Api Neraka

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Sebuah seruan dari Dzat Yang Maha Agung kepada orang-orang yang beriman, berisi perintah dan peringatan berikut kabar tentang bahaya besar yang mengancam. Seruan ini ditujukan kepada insan beriman, karena hanya mereka yang mau mencurahkan pendengaran kepada ajakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang dengan perintah-Nya dan mengambil manfaat dari ucapan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka agar menyiapkan tameng untuk diri mereka sendiri dan untuk keluarga mereka guna menangkal bahaya yang ada di hadapan mereka serta kebinasaan di jalan mereka. Bahaya yang mengerikan itu adalah api yang sangat besar, tidak sama dengan api yang biasa kita kenal, yang dapat dinyalakan dengan kayu bakar dan dipadamkan oleh air. Api neraka ini bahan bakarnya adalah tubuh-tubuh manusia dan batu-batu. Ia berbeda sama sekali dengan api di dunia. Bila orang terbakar dengan api dunia, ia pun meninggal berpisah dengan kehidupan dan tidak lagi merasakan sakitnya pembakaran tersebut. Beda halnya bila seseorang dibakar dengan api neraka, na’udzubillah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا

Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)

كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ

Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)

لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا

Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36) [Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-‘Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dengan sub judul Fit Tahdzir minan Nar wa Asbab Dukhuliha, 2/164-165]

Orang yang masuk ke dalam api yang sangat besar ini tidak mungkin dapat lari untuk meloloskan diri, karena yang menjaganya adalah para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ

Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras.” (At-Tahrim: 6)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menjelaskan, “Penjaganya adalah para malaikat Zabaniyah yang hati mereka keras, kaku, tidak mengasihi jika dimohon kepada mereka agar menaruh iba…

Kata شِدَادٌ maksudnya keras tubuh mereka. Ada yang mengatakan, para malaikat itu kasar ucapannya dan keras perbuatannya. Ada yang berpendapat, malaikat tersebut sangat kasar dalam menyiksa penduduk neraka, keras terhadap mereka. Bila dalam bahasa Arab dinyatakan:

فُلاَنٌ شَدِيْدٌ عَلَى فُلاَنٍ,

maksudnya Fulan menguasainya dengan kuat, menyiksanya dengan berbagai macam siksaan.

Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan غِلَاظٌ adalah sangat besar tubuh mereka, sedangkan maksud شِدَادٌ adalah kuat.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Jarak antara dua pundak salah seorang dari malaikat tersebut adalah sejauh perjalanan setahun. Kekuatan salah seorang dari mereka adalah bila ia memukul dengan alat pukul niscaya dengan sekali pukulan tersebut tersungkur 70.000 manusia ke dalam jurang Jahannam.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 18/128)

Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata menafsirkan ayat ke-6 surah At-Tahrim di atas, “Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang disebutkan dengan sifat-sifat yang mengerikan. Ayat ini menunjukkan perintah menjaga diri dari api neraka tersebut dengan ber-iltizam (berpegang teguh) terhadap perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunaikan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan bertaubat dari perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala murkai serta perbuatan yang menyebabkan azab-Nya. Sebagaimana ayat ini mengharuskan seseorang menjaga keluarga dan anak-anak dari api neraka dengan cara memberikan pendidikan dan pengajaran kepada mereka, serta memberitahu mereka tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang hamba tidak dapat selamat kecuali bila ia menegakkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan terhadap dirinya dan orang-orang yang di bawah penguasaannya, baik istri-istrinya, anak-anaknya, dan selain mereka dari orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan pengaturannya.

Dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan neraka dengan sifat-sifat yang mengerikan agar menjadi peringatan terhadap manusia jangan sampai meremehkan perkaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“…Yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (At-Tahrim: 6)

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ

Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah (patung-patung) adalah bahan bakar/kayu bakar Jahannam, kalian sungguh akan mendatangi Jahannam tersebut.” (Qs Al-Anbiya: 98)

Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras. Yaitu akhlak mereka kasar dan hardikan mereka keras. Mereka membuat kaget dengan suara mereka dan membuat ngeri dengan penampilan mereka. Mereka melemahkan penghuni neraka dengan kekuatan mereka dan menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap penghuni neraka, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memastikan azab atas penghuni neraka ini dan mengharuskan azab yang pedih untuk mereka.

Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Di sini juga ada pujian untuk para malaikat yang mulia dan terikatnya mereka kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh perkara yang diperintahkan-Nya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874)

Penjagaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Keluarganya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah hasanah bagi orang-orang yang beriman telah memberikan arahan dan peringatan kepada kerabat beliau dalam rangka menjaga mereka dari api neraka. Tatkala turun perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat:

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

Berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.” (Asy Syu’ara: 214)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi bukit Shafa dan menaikinya, lalu menyeru manusia untuk berkumpul. Maka orang-orang pun berkumpul di sekitar beliau. Sampai-sampai yang tidak dapat hadir mengirim utusannya untuk mendengarkan apa gerangan yang akan disampaikan oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memanggil kerabat-kerabatnya, “Wahai Bani Abdil Muththalib! Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Lu’ai! Apa pendapat kalian andai aku beritakan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda dari balik bukit ini akan menyerang kalian. Adakah kalian akan membenarkan aku?” Mereka serempak menjawab, “Iya.” Beliau melanjutkan, “Sungguh aku memperingatkan kalian sebelum datangnya azab yang pedih.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitakan bahwa ketika turun ayat di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit seraya berkata, “Wahai Fathimah putri Muhammad! Wahai Shafiyyah putri Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdil Muththalib! Aku tidak memiliki kuasa sedikit pun di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menolong kalian kelak. (Adapun di kehidupan dunia ini) maka mintalah harta dariku semau kalian.” (HR. Muslim)

Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa bila hendak shalat witir, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu:

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.” (Sanad hadits ini shahih kata Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam tahqiqnya terhadap Al-Musnad)

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengabarkan, suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun dari tidur beliau. Beliau pun membangunkan istri-istri beliau untuk mengerjakan shalat. Kata beliau:

أَيْقِظُوْا صَوَاحِبَ الْحُجْرِ

Bangunlah, wahai para pemilik kamar-kamar (istri-istri beliau yang sedang tidur di kamarnya masing-masing)!” (HR. Al-Bukhari)

Tidak luput pula putri dan menantu beliau juga mendapatkan perhatian beliau. Suatu malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Ali dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Tidakkah kalian berdua mengerjakan shalat malam?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)

Jagalah Dirimu dan Keluargamu dari Api Neraka

Seorang suami sebagai kepala rumah tangga selain menjaga dirinya sendiri dari api neraka, ia juga bertanggung jawab menjaga istri, anak-anaknya, dan orang-orang yang tinggal di rumahnya. Satu cara penjagaan diri dan keluarga dari api neraka adalah bertaubat dari dosa-dosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nashuha. Mudah-mudahan Rabb kalian menghapuskan kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka berdoa, ‘Wahai Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.” (At-Tahrim: 8)

Seorang suami sekaligus ayah ini bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya, taubat yang murni, kemudian ia membimbing keluarganya untuk bertaubat. Taubat yang dilakukan disertai dengan meninggalkan dosa, menyesalinya, berketetapan hati untuk tidak mengulanginya, dan mengembalikan hak-hak orang lain yang ada pada kita. Taubat yang seperti ini tentunya menggiring pelakunya untuk beramal shalih. Buah yang dihasilkannya adalah dihapuskannya kesalahan-kesalahan yang diperbuat, dimasukkan ke dalam surga, dan diselamatkan dari kerendahan serta kehinaan yang biasa menimpa para pendosa dan pendurhaka.

Melakukan amal ketaatan dan menjauhi maksiat harus diwujudkan dalam rangka menjaga diri dari api neraka. Seorang kepala rumah tangga menerapkan perkara ini dalam keluarganya, kepada istri dan anak-anaknya. Ia punya hak untuk memaksa mereka agar taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak berbuat maksiat, karena ia adalah pemimpin mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak dalam urusan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Ia harus memaksa anaknya mengerjakan shalat bila telah sampai usianya, berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنٍ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya ketika telah berusia sepuluh tahun serta pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud dari hadits Abdullah ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud, “Hadits ini hasan shahih.”)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)

Seorang ayah bersama seorang ibu harus bekerja sama untuk menunaikan tanggung jawab terhadap anak, baik di dalam maupun di luar rumah. Anak harus terus mendapatkan pengawasan di mana saja mereka berada, dijauhkan dari teman duduk yang jelek dan teman yang rusak. Anak diperintahkan untuk mengerjakan yang ma’ruf dan dilarang dari mengerjakan yang mungkar.

Orangtua harus membersihkan rumah mereka dari sarana-sarana yang merusak berupa video, film, musik, gambar bernyawa, buku-buku yang menyimpang, surat kabar, dan majalah yang rusak.

Seluruh perkara yang telah disebutkan di atas dilakukan dalam rangka menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Karena, bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia meninggalkan shalat padahal shalat adalah tiang agama dan pembeda antara kafir dengan iman?

Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu melakukan perkara yang diharamkan dan mengentengkan amalan ketaatan? Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu berjalan di jalan neraka, siang dan malam?

Hendaknya ia tahu bahwa neraka itu dekat dengan seorang hamba, sebagaimana surga pun dekat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْجَنَّةُ أَدْنَى إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ

Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya dan neraka pun semisal itu.” (HR. Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Maksud hadits di atas, siapa yang meninggal di atas ketaatan maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, siapa yang meninggal dalam keadaan bermaksiat maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka. (Al-Khuthab Al-Minbariyyah, 2/167)

Bagaimana seseorang dapat menjaga keluarganya dari api neraka sementara ia membiarkan mereka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan kewajiban?

Bagaimana seorang ayah dapat menyelamatkan anak-anaknya dari api neraka bila ia keluar menuju masjid sementara ia membiarkan anak-anaknya masih pulas di atas pembaringan mereka, tanpa membangunkan mereka agar mengerjakan shalat? Atau anak-anak itu dibiarkan asyik dengan permainan mereka, tidak diingatkan untuk shalat?

Anak-anak yang seyogianya merupakan tanggung jawab kedua orangtua mereka, dibiarkan berkeliaran di mal-mal, main game, membuat kegaduhan dengan suara mereka hingga mengusik tetangga, kebut-kebutan di jalan raya dengan motor ataupun mobil. Sementara sang ayah tiada berupaya meluruskan mereka. Malah ia penuhi segala tuntutan duniawi si anak. Adapun untuk akhirat mereka, ia tak ambil peduli. Sungguh orangtua yang seperti ini gambarannya tidaklah merealisasikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah At-Tahrim di atas. Wallahul musta’an.

Maka, marilah kita berbenah diri untuk menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Bersegeralah sebelum datang akhir hidup kita, sebelum datang jemputan dari utusan Rabbul Izzah, sementara kita tak cukup ‘bekal’ untuk bertameng dari api neraka, apatah lagi meninggalkan ‘bekal’ yang memadai untuk keluarga yang ditinggalkan. Allahumma sallim!

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Dikutip dari www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Judul: Jagalah Diri dan Keluarga dari Api Neraka

Baca Risalah terkait ini:
1.DAHSYATNYA SIKSAAN di DALAM NERAKA
2.Melihat Sifat-Sifat Penghuni SURGA
3.Wanita Ahli Surga dan Ciri-Cirinya
4.MENGAPA MAYORITAS KAUM WANITA PENGHUNI NERAKA?
5.Seluruh Ummat Muhammad Akan Masuk Surga Kecuali yang Enggan

Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/

READ MORE - Jagalah Diri dan Keluarga dari Api Neraka

Nyanyian dan Musik Dalam Islam

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu ‘anhuma)

Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.

Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina.

Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.

Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!

Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :

Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.

Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.

Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.

Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.

Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.

Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah ta’ala.

Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)

Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif

Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus). Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”

Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)

Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.

Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.

Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)

Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.

Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)

Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’

Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :

Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.

Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)

Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :

Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.

Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.

Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.

Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.

Dan yang lain, misalnya :

Jika Rabbku berkata padaku.

Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.

Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.

Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.

Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.

Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)

Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)

Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.

Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)

Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan

Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)

Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.

Dalil-Dalil Dari Al Qur’an

1. Firman Allah Ta’ala :

Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)

Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.

Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya.

Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :

Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)

Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).

Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :

Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)

Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”

Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.

Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.

Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)

2. Firman Allah ta’ala :

Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)

Mujahid –dalam kitab yang sama– menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.

3. Firman Allah ta’ala :

Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)

Kata ‘Ikrimah –dari Ibnu Abbas–, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”

Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)

Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59)

Dalil-Dalil Dari As Sunnah

1. Dari Abi ‘Amir –Abu Malik– Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)

2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)

3. Dari Anas bin Malik berkata :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52)

4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)

5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku –atau mengharamkan– khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)

6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)

7. Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :

“Kulihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)

Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”

Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.”

Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69)

Atsar ‘Ulama Salaf

Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.

Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)

Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”

Dalam kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.” Orang itu bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak saudaraku, jika Allah memisahkan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu berada?

Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab : “Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.” Dan Ibnul Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang bebas dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari iringan musik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan ranting, tepukan tangan, dan sebagainya.

Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306)

Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para oleh muhaqqiq sebagai orang-orang Jabriyah. Mereka adalah orang-orang yang rendah kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan, … .” (Muntaqa Nafis halaman 308)

Asy Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306)

Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina. (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318)

Dalam kitab yang sama (halaman 318), disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan.”

Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati dan mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)

Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kau tanamkan dalam pendidikan akhlaknya adalah benci pada alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah dari syaithan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”

Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar) kitabnya, Tahrimus Sima’, menyebutkan :

[ … oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini secara terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin. Allah ta’ala berfirman :

“Dan siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum Mukminin, Kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahanam sedangkan jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115) ]

Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik, apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah segera dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib. Ketika beliau ditanya tentang adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”

Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak diperselisihkan di kalangan mereka. Madzhab Imam Hanafi ini termasuk madzhab yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas dalam perkara ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan sepotong ranting. Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan, dan ditolak persaksiannya.

Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengar nyanyian dan musik adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika bunyi musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban ini.

Kemudian Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’i dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.

Para shahabat Imam Syafi’i yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan musik dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’i) mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh. Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah. (Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsati Lahfan halaman 301)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :

Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya. Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi’i) membolehkan keduanya (nyanyian dan musik).

Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari shahabat-shahabat beliau adalah dalam permasalahan ‘bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’ Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini. Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan. Maka siapa saja yang meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan (rukhshah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah mengomentari pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman halaman 303)

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia –dengannya– dari Al Qur’an.” (Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya’ Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304)

Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari (seorang imam ahli lughah dan adab bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54)

Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan ‘illahnya (alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, –padahal at taghbir itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh) terhadap dunia, para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau dengan mendecakkan mulut sesuai irama lagu–, maka bagaimana pula ucapan beliau apabila mendengar nyanyian yang ada di jaman ini, at taghbir bagi beliau bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan?!

Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah, puteranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankanku.” (Lihat Mawaridul Aman 305)

Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya. Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52)

Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya, jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk. Oleh sebab itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian.” (Muntaqa Nafis 307)

Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman halaman 320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya, sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh, mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”

Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan. Dan kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan air.”

Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Karena sesungguhnya Al Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya. Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan sangat bertolak belakang. Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan (syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya. Al Qur’an juga melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan. Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al Qur’an. Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang (dianggap) menyenangkan.

Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat, kewibawaan, dan kecermelangan akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam, dan manisnya Al Qur’an akan tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecermelangan akalnya telah pula menjauhinya,. Akibatnya syaithan bergembira menyambut keadaan ini. Imannya pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Qur’an menjadi sesuatu yang berat baginya. Lalu ia (iman itu) berdoa kepada Rabbnya : “Ya Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuh-Mu dalam hati (dada) yang sama.”

Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah dia sembunyikan. Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepala, bahu, menghentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.

Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”

Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik) terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara khusus.

Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.

Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau perselisihan yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman halaman 322)

Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.

Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-nya. Inilah intinya nifak.

Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq (taat). Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Qur’an, sedangkan nifak sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil dan amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’.

Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini :

Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (QS. An Nisa’ : 142)

Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka. Dan di samping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’ adalah kedustaan yang paling tinggi. Di dalamnya, kejahatan menjadi sesuatu yang menarik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau, dan sangat jelek. Inilah hakikat kemunafikan. Al ghina’ merusak dan mengotori hati, sehingga apabila hati itu telah kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah kekuasaan kemunafikan.

Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan diri dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan dan pemahaman para shahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya.” (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323)

Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah ta’ala.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

[1] Orang yang jika mengajarkan sesuatu mudah diterima dan dipahami.

Dikutip dari: salafy.or.id offline Penulis: Al Ustadz Idral Harits Judul: Nyanyian Dan Musik Dalam Islam 1-2.

READ MORE - Nyanyian dan Musik Dalam Islam

Perhatikan Shaff Kalian, wahai Saudaraku!

Perhatikan Shaf Shalat!

Assalamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuhu
Bismillahirrohmanirrohim

Rasulullah shallallahu' alaihi wa Sallam bersabda:

"Dari Nu’man bin Basyar berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Ratakanlah shaff (barisan) kalian atau Allah menjadikan berselisih antara wajah kalian.” (HR. Muslim no. 436)

"Dari Anas bin Malik berkata,”Iqomat untuk sholat telah dilakukan kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepada kami dengan wajahnya seraya bersabda,”Ratakanlah shaf dan rapatkanlah, sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.”(HR. Bukhori)

"Dari Anas bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ”Luruskanlah shaf-shaf kalian, sesungguhnya aku menyaksikan kalian dari belakang punggungku. Dan salah seorang dari kami menempelkan bahunya kepada bahu temannya dan kakinya kepada kaki temannya.”(HR. Bukhori)

"Dari Abil Qosim al Judaliy berkata,”Aku mendengar an Nu’man bin Basyir berkata,’Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya kehadapan manusia dan bersabda,’Luruskanlah shaf-shaf kalian (3X). Demi Allah hendaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menjadikan hati kalian berselisih.” Ia (an Nu’man bin Basyir) berkata,’Sungguh aku melihat orang diantara kami menempelkan pundaknya kepada pundak temannya dan mata kakinya kepada mata kaki temannya.” (HR. Abu Dawud no. 662 dengan sanad shahih)

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu mendoakan orang-orang yang menyambung shaf-shaf dalam shalat. Siapa saja yang mengisi bagian shaff yang lowong, akan diangkat derajatnya oleh Allah satu tingkat” [HR. Ibnu Majah no. 995; shahih lighairihi].

"Dari 'Abdullah ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Barangsiapa menyambung shaff, maka Allah akan sambung dia; namun barangsiapa yang memutuskan shaff, maka Allah akan putuskan dia (akan rahmat-Nya)." (HR. Abu Dawud, dalam Sunannya : 1549)

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaff (barisan) dari sisi ke sisi meratakan dada kami, bahu-bahu kami dan bersabda, “Janganlah kalian berselisih, karena akan berselisih hati-hati kalian!” Dan beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah dan Malaikatnya bershalawat atas shaff-shaff yang pertama.” HR. Abu Dawud, Sunan no.664; An-Nasa’iy, Sunan (Al-Mujtaba) no.811 (2/89). Syaikh Salim Al-Hilaliy menyatakan sanadnya Shahih

Imam Al-Bukhari menulis, dalam Shahihnya, Bab Menempelkan Bahu dengan Bahu dan Tepi Kaki dengan Tepi Kaki Lainnya Dalam Barisan Shalat, Berkata Nu’man bin Basyir, “Aku melihat masing-masing orang dari kami menempelkan mata kakinya ke mata kaki kawannya.”HR. Al-Bukhari secara Mu’allaq namun dengan lafazh Jazm (Tegas) dalam Shahih-nya. Dan sanadnya disambung oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy [773-852H], dalam Taghliqut-Ta’liq (2/302). Shahih. Dikeluarkan juga oleh Al-Bazzar dalam Musnad-nya no.3285 (8/229-230) dengan sanad bersambung kepada An-Nu'man radhiyallahu 'anhuma
“Hendaklah yang ada di belakangku (shaf pertama bagian tengah) adalah kalangan orang dewasa yang berilmu. Kemudian diikuti oleh mereka yang lebih rendah keilmuannya. Kemudian diikuti lagi oleh kalangan yang lebih rendah keilmuannya” (HR. Muslim no. 433).

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf-shaf termasuk menegakkan shalat (berjama’ah)”; dan dalam lafadh lain : “karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat (berjama’ah)” (HR. Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433).

“Kami dilarang untuk berbaris di antara tiang-tiang di jaman Rasulullah dan kami menyingkir darinya” (HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Majah, dan lain-lain; dengan sanad shahih).
“Aku shalat bersama Anas bin Malik pada hari Jum’at, kami terdesak (berbaris) pada tiang-tiang. Sebagian dari kami maju dan sebagian lagi mundur. Maka Anas berkata : ‘Kami menghindari ini di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lain-lain; dengan sanad shahih).

”Adalah ’Umar (bin Al-Khaththab) radliyallaahu ’anhu menugaskan seseorang untuk mengatur shaff-shaff. Tidaklah ’Umar mulai bertakbir hingga ia (orang yang ditugaskan tersebut) kembali dan mengkhabarkan bahwasannya shaff-shaff telah lurus” [Diriwayatkan oleh ’Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 2437 dan 2439].

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempunyai bahu paling lembut di dalam shalat” [HR. Abu Dawud no. 623; shahih lighairihi]. Maksud hadits ini adalah bahwa salah satu katagori orang yang paling baik adalah orang yang ketika berada di dalam shaff, kemudian ada orang lain yang memegang bahunya untuk menyempurnakan (merapatkan dan meluruskan) shaff, ia akan tunduk dengan hati yang ikhlash lagi lapang tanpa ada pembangkangan [lihat selengkapnya dalam Badzlul-Majhuud 4/338 dan Ma’alimus-Sunan 1/184].

“Aku tidak bermaksud (kecuali) mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” (QS. Huud : 88).







"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan jangalah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari-padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." QS 3:103
"Pada hari, Ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. QS 78:38
READ MORE - Perhatikan Shaff Kalian, wahai Saudaraku!

22 Perkara Yang Membatalkan Amalan Seseorang

Alhamdulillah shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi-Nya dan hamba-Nya yang tidak ada nabi setelahnya, juga kepada keluarga dan sahabatnya. amma ba’du.

Sesungguhnya kebahagiaan abadi adalah di surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang tidak akan didapatkan oleh seorang hamba kecuali dengan menjauhi perangi yang dianggap baik oleh sebuah jiwa akan tetapi akan menggugurkan pahala dan amalannya.

Akan tetapi wahai hamba Allah, engkau berada di atas suatu ilmu yang terkumpul untuk mu di lembaran ini yang dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al Kitab dan As-Sunnah sahihah :

1. Kufur dan syirik

Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan perjumpaan di hari akhirat, maka gugurlah amalan-amalan mereka, dan tidaklah mereka diberi balasan kecuali dengan apa yang telah mereka perbuat (al A’raf:174) dan juga firman-Nya ” dan telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, jika kamu berbuat syirik, niscaya gugurlah amalan-amalanmu dan tentulah kamu menjadi orang yang merugi ” (az Zumar: 65)

2. Murtad

Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : ” Barangsiapa yang murtad diantara kalian dari agamanya kemudian mati dakan keadaan kafir, mereka itulah yang gugur amalan-amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka adalah penghuni neraka serta kekal di dalamnya.” (Al Baqarah : 217)

3. Nifaq dan Riya’

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam” sesungguhnya dari yang saya takutkan terhadapmu adalah syirik kecil, yaitu riya“. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (dalam sebuah hadits qudsi) pada hari kiamat, “Jika Allah memberi balasan kepada manusia dari amalan-amalan. Maka pergilah kalian kepada amalan yang kamu berbuat ria di dunia, maka lihatlah apakah kalian mendapatkan padanya pahala” (dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan al Baghawi dari hadits Mahmud bin Labid dengan sanad shahih menurut syarat Imam Muslim)

5. Mengungkit-ngungkit pemberian

Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ” Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian gugurkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-nyebut (pemberian) dan menyakiti (hati penerima) (Al Baqarah : 264).

Dan dari Abu Umamah Radiyallahu ‘anhu berkata Nabi shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: ” Tiga perkara yang Allah tidak akan terima penolakan dan penebusan yaitu orng yang durhaka kepada orang tua, pengungkit-ngungkit pemberian dan orang yang mendustakan takdir“ (dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dan Thabrany dengan sanad hasan)

6. Mendustakan Takdir

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam “Kalau seandainya Allah mengadzab penduduk langit dan bumi niscaya dia akan mengadzabnya sedang Dia tidak sedikitpun berbuat dzalim terhadap mereka, dan seandainya Dia merahmati mereka niscaya rahmat-Nya lebih baik dari amalan-amalan mereka. Seandainya seseorang menginfaqkan emas di jalan Allah sebesar Gunung Uhud, tidaklah Allah akan menerima infaq tersebut darimu sampai engkau beriman dengan takdir, dan ketahuilah bahwa apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan menyelisihimu, sedang apa yang (ditakdirkan) tidak menimpamu maka tida akan menimpamu, kalau seandainya engkau mati dalam keadaab mengimanai selalin ini (tidak beriman dengan takdir), niscaya engkau masuk neraka (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dan Ahmad, hadits ini shahih)

7. Meninggalkan shalat Ashr

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam : “Orang yang meluputkan dari shalat ashar maka seolah-olah dia kehilangan keluarga dan hartanya (yakni tinggal sendirian tanpa harta dan keluarga), (Dari hadits Ibnu Umar, mutafaq ‘alaihi), dan juga sabda beliau “Barangsiapa meninggalkan shalat ashr maka sungguh gugurlah amalannya” (Bukhari dari hadits Buraidah)

8. At Ta’ly atas Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Sesungguhnya seseorang yang berkata, Allah tidak akan mengampuni terhadap si fulan, maka Allah berkata, Barangsiapa beranggapan atas-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni si fulan, maka sungguh Aku telah mengampuni si fulan, dan engkau telah menggugurkan amalanmu, atau sebagaimana beliau katakan (dikelurakan oleh Muslim dari hadtis Jundub bin Abdullah Radhiyallu anhu) At Ta’ly atas Allah yaitu : berkata tentang Allah tanpa ilmu, menyepelekan luasnya rahmat Allah dan bersumpah bahwa Allah tidak akan mengampuni terhadap seseorang.

9. Menyelisihi Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam baik ucapan maupun amalan

Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : ” Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian angkat suara-suaramu diatas suara Nabi dan jangan kalian mengeraskan suara kepadanya layaknya seorang diantara kalian terhadap yang lainnya, sehingga akan gugurlah amalan-amalan kalian dalam keadaan kalian tidak menyadari” (Al Ahzab : 2). Dan firman-Nya : ” Hai orang-orang beriman taatlah Allah dan Rasul-Nya dan jangan kalian gugurkan amalan-amalan kalian (Muhammad: 33)

10. Berbuat bid’ah dalam agama

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini, sesuatu yang tidak ada petunjuk agama padanya, maka itu tertolak (Mutafaq ‘alaih dari hadtis Aisyah radhiyallahu ‘anha) dalam riwayat Muslim disebutkan ” Barangsiapa beramal dengan amalan yang bukan perintah kami maka itu tertolak

11. Melanggar Ketentuan-ketentuan Allah di waktu sepi

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Sungguh aku mengetahui sebuah kaum dari umatku, mereka datang pada hari kiamat dengan kebaikan semisal gunung putih, kemudian Allah jadikan seperti halnya debu yang berterbangan”, berkata Tsauban, ” Wahai Rasulullah, sifatkanlah tentang keadaan mereka kepada kami, dan supaya kami tidak termasuk dari mereka, dan sedang kami da;a, keadaan tidak memengetahui”, Beliau bersabda “Adapun mereka itu dari saudara kalian seagama, dan dari bangsa kalian, mereka mengambil bagian dari waktu malam sebagaimana juga kalian mengambilnya, akan tetapi mereka itu adalah sebuah kaum yang jika melewati larangan Allah mereka melanggarnya (Dikeluarkan oleh ibnu MAjah dari hadits Tsauban Radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh al Mundziri dan Al Baushiri)

12. Gembira dan Bahagia dengan terbunuhnya seorang mukmin

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Barangsiapa membunuh seorang mukmin dan berharap akan terbunuhnya maka Allah tidak akan menerima darinya penolakan (adzab) ataupun penebusan. (dikelurkan oleh Abu Dawud dari hadits Ubadah bin shamit, hadits ini shahih).

13. Menetap di negeri-negeri kafir

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam : ” Allah Azza wajalla tidak akan menerima amalan dari seorang musyrik yang masuk Islam sampai memisahkan musyrikin kepada muslimin” (Dikelurkan oleh Nasai dan Ahmad dari Hadits Mu’awiya bin Hayidah radhiyallahu ‘anhu dengan sanad hasan)

14 Mendatangi dukun dan tukang ramal

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam : ” Barangsiapa mendatangi tukang ramal kemudian menanyakan tentang sesuatu, maka tidak diterima darinya shalat selama 40 hari (dikeluarkan oleh Muslim) dan sabdanya ” Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun kemudian membenarkan apa yang dikatakan maka sungguh telah kafir kepada yang diturukan kepada Muhammad (Al Qur’an), (dikelurkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad, dari hadits Abu Hurairah, sahih)

15. Durhaka kepada kedua orang tua

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Tiga golongan yang Allah tidak akan terima dari mereka penolakan atau penebusan yaitu orang yang durhaka kepada kedua orang tua, pengungkit pemberian, dan pendusta takdir” (telah berlalu takhrijnya dipoint no.5)

16. Pecandu Khamar

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Barangsiapa meminum khamar Allah tidak akan terima darinya shalat empat puluh hari, apabila dia taubat, maka Allah terima taubatnya, apabila dia kembali berbuat maka Allah tidak akan terima lagi shalatnya selama 40 hari, dan apabila dia taubat maka Allah tidak akan terima taubatnya, dan Allah akan memberinya minum dari sungai Khibal”, dikatakan kepadanya “wahai Abu Abdiraman , apa sungai khibal tersebut, dia berkata : yaitu sungai dari nanah penduduk neraka (dikeluarkan oleh Tirmidzi dari hadits Abdullah bin Umar, dan dia shahih), dan sabda Beliau Shalallahu Alaihi Wa Sallam “Pecandu khamr, jika mati maka akan menemui Allah seperti penyembah berhala (dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari hadits Ibnu Abbas, dan baginya ada syahid (penguat) dari hadits Abu Hurairah dikeluarkan oleh Ibnu Majah, secara keseluruhannya derajatnya hasan)

Berkata Ibnu Hiban : Serupa makna khabar ini dengan ” Barangsiapa bertemu Allah dari pecandu khamr dengan anggapan halal meminumnya, seperti penyembah berhala, karena kesamaan keduanya dalam kekufuran.

17. Berkata dusta dan beramal dengannya

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka tidak ada kepentingan bagi Allah seseorang meninggalkan makan dan minumnya ” (dikeluarkan oleh Bukhari)

18. Memelihara anjing kecuali anjing yang dididik untuk pertanian atau berburu

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Barangsiapa memelihara anjing, maka akan berkurang amalannya setiap hari sebear satu qiroth (dalam riwayat lain dua qiroth), kecuali anjing untuk menjaga kebun atau anjing penjaga ternak (mutafaq alaihi, dan riwayat kedua dari muslim)

19. Budak yang lari dari tuannya, tanpa karena takut atau keletihan dalam pekerjaan, sampai dia kembali kepada tuannya

20. Istri yang durhaka sampai kembali taat terhadap suaminya.

Berkata Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Dua golongan yang sungguh sangat merugi yaitu seorang hamba yang lari dari tuannya sampai kembali kepada mereka dan seorang istri yang maksiat terhadap suaminya sampai dia kembali kepadanya (dikeluarkan oleh Hakim dan Thabrany dalam as shaghir, shahih)

21. Pemimpin yang dibenci kaumnya

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Tiga golongan yang sangat merugi yaitu seorang budak yang lari dari tuannya sampai dia kembali, seorang wanita yang bermalam dengan suaminya dalam keadaan (suami) murka padanya, dan seorang pemimpin yang dibenci kaumnya” (Dikeluarkan dan dihasankan oleh Tirmidzi)

Berkata Tirmidzi : ” Sekelompok orang dari ahli ilmu membenci seseorang untuk memimpin sebuah kaum, yang mereka benci padanya. Apabila imam itu tidak dzalim, maka sesungguhnya dosa itu atas yang membencinya. Dinukilkan dari Manshur: Kami bertanya tentang perkara imam, maka dikatakan kepada kami: Pemimpin-pemimpin yang dzalim itu sangat menyusahkan, dan adapun yang menegakkan sunnah maka sesungguhnya dosa bagi siapa yang membencinya.”

22. Seorang muslim memboikot saudaranya muslim tanpa udzur syar’ie

Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam ” Dibukakan pintu-pintu surga pada hari Senin dan Kamis dan diampunkan bagi setiap hamba yang tidak mensekutukan Allah dengan sesuatupun kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya ada kebencian” Beliau berkata, ” perhatikanlah keduanya oleh kalian sampai mereka kembali rukun, perhatikanlah keduanya oleh kalian sampai mereka kembali rukun, perhatikanlah keduanya oleh kalian sampai mereka kembali rukun.” (Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah)

Wahai saudara seislam, ini adalah perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan amalan-amalan, berada di depanmu. Dan bahayanya terhadap agamamu sangat jelas, maka jauhilah perkara tersebut dan berhati-hatilah darinya dan hendaklah hatimu tetap berharap kepada sesuatu yang memberi manfaat kepadamu di dunia dan akhirat, karena setiap hati butuh kepada tarbiyah supaya suci dan terus bertambah suci hingga sampai usia lanjut sempurnalah dan baiklah ia.

Ya Allah yang membolak-balikan hati tetapkanlah hati-hati kami atas agama-Mu, dan janganlah Engkau palingkan kami meskipun hanya sekejap saja.

Dikutip dari salafy.or.id offline dari website http://www.geocities.com/dmgto/aqidah201/batalamal.htm, penulis Syaikh Salim al Hilali, judul Beberapa Perkara Pembatal Amal

Baca risalah terkait: Akankah Amalku Diterima ?


Akankah Amalku Diterima ?


Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.

Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata’ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata’ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:

Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3)

Sumpah Allah Subhanahuwata’ala dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata’ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata’ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika memproklamirkan dirinya beriman, maka seseorang memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Konsekuensi iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an:

Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)

Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: ”Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), niscaya tidak bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:

Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993)

Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal

Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata’ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:

Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)

Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata’ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.

Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata’ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

Allah berfirman:

Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:

Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170

Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:

Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal

Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata’ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:

Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahuwata’ala.

Allah Subhanahuwata’ala berfirman;

Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:

Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata’ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Beliau bersabda:

Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata’ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.

Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala adalah benar?

Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.

Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.

Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata’ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396

Allah Subhanahuwata’ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.

Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah – Muhammadarrasulullah.

Wallahu a’lam.

Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis: al Ustadz Abdurrahman Lombok, judul asli Akankah Amalku Diterima ?.

READ MORE - 22 Perkara Yang Membatalkan Amalan Seseorang