Di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, Islam Politik (al-Islâm as-Siyâsi) benar-benar menjadi tren baru yang menyeruak dan menggejala di berbagai belahan negara Islam. Keberadaan (gerakan) Islam Politik tercatat serupa gelombang besar yang radius getarnya menjamah mulai dari Maroko, Aljazair, Mesir, Lebanon, Palestina, Turki, Irak, Iran, Malaysia, hingga Indonesia.
Di Kerajaan Maroko, di ujung terbarat negara Arab-Muslim, secara mengejutkan Partai Keadilan dan Pembangunan (Hizb al-Adalah wa at-Tanmiyyah), sebuah partai yang berhaluan Islam dan beroposisi putih dengan pemeritah, meraih suara terbanyak pada pemilu yang digelar pada September 2007 silam.
Kemenangan kubu Islamis juga terjadi di tetangga Maroko, Aljazair. Di negara Afrika Putih yang sejak masa kemerdekaannya di era tahun 50-an memutuskan untuk berkiblat kepada Barat-Prancis yang sekuler itu, geliat Islam Politik kian menguat. Front Penyelamat Islam (FIS), sebuah partai berhaluan Islam terbesar dan terkuat di Aljazair, secara telak meraup suara terbanyak pada pemilu yang digelar di negeri itu pada tahun 1991. Atas kemenangan ini, pemerintah Aljazair segera membatalkan hasil pemilu. Mereka juga memburu dan membantai aktivis dan anggota FIS.
Sementara itu, di Mesir, al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) menjadi gerakan oposisi terbesar dari faksi sipil. Pada pemilu legislatif yang digelar di negara itu pada Desember 2005 lalu, Ikhwan, yang berbasis masyarakat pinggiran dan pedesaan, berhasil meraih setidaknya 120 kursi parlemen dari total jumlah 444 kursi. Perolehan angka suara tersebut benar-benar mengejutkan dan membelalakan bayak pihak. Dan, sama sepertihalnya di Aljazair, pemerintahan Mesir juga menangkapi para aktivis dan anggota IM.
Di Palestina, kubu berhaluan Islam, Hamas (Harakah al-Muaqâwamah al-Islâmiyyah), secara signifikan memenangkan pemilu anggota parlemen yang digelar pada Januari 2006 silam. Hamas berhasil mengantongi 76 kursi dari total 132 kursi parlemen. Kemenangan ini benar-benar memukul telak Fatah, kubu sekuler terbesar Palestina yang telah lama memerintah, sekaligus menghantarkan pucuk pimpinan Hamas Ismail Haniya untuk menjadi Peradana Menteri Palestina. Atas kemenangan Hamas, pihak Israel menutup pintu dialog, perundingan, dan perdamaian secara total dengan Palestina.
Fenomena menguatnya arus Islam Politik juga terjadi di Lebanon. Hezbollah, sayap Syiah yang memiliki kedekatan istimewa dengan Iran, adalah salah satu kekuatan utama Lebanon, baik sipil, ekonomi, dan juga militer. Dalam pemilu yang digelar pada 2000 dan 2005 silam, Hezbollah secara perlahan namun pasti mampu meraih prosentase suara yang cukup besar. Prosentase tersebut semakin melejit pasca peran Hezbollah dalam penyerangan Israel atas Lebanon, disamping kampanye anti-korupsi yang gencar dilakukan Hezbollah.
Kemenangan aliansi Islam-Syiah dalam pemilu yang digelar di Irak pada Februari 2005 lalu juga kian mempertegas bangkitnya mileu Islam Politik. Dalam pemilu tersebut, kubu Syiah berhasil mendulang 140 kursi dari total 275 di parlemen Irak. Jumlah angka tersebut jelas bukan sedikit dan sangat mengejutkan, karena sejak masa kemerdekaan negara seribu satu malam itu, Syiah telah menjadi kelompok yang terpinggirkan. Kemenangan Syiah tersebut juga ditengarai banyak pengamat sebagai babak baru kembalinya Syiah ke dalam gelanggang politik Irak.
Demikian halnya di Iran, kemenangan Mahmoud Ahmadinejad dari kubu “Islam Politik” ultra-konservatif pada pemilihan presiden Iran yang digelar di pertengahan 2005 lalu banyak menjadikan para pengamat politik terkejut. Ahmadinejad, mantan walikota Tehran yang saleh, bersahaja, namun memiliki retorika yang mengguncang itu secara telak mengalahkan calon dari kubu reformis-moderat, Ali Akbar Hashemi Rafsanjani.
Jauh di semenanjung Malaya di Tenggara Asia, yaitu di Malaysia, kubu Islamis tampil sebagai penantang kubu pemerintah, UMNO. Sekalipun UMNO memenangkan pemilu secara telak, namun Partai Keadilan Rakyat (PKR), partai berhaluan Islami yang didirikan oleh tokoh oposisi terkemuka Anwar Ibrahim, juga Partai Islam Se-Malaysia (PAS) yang berhaluan radikal, adalah kekuatan oposisi yang tidak bisa dianggap enteng.
Dan di Indonesia, tren Islam Politik pun tak ketinggalan meruyak, bahkan dalam bentuk partai politik yang lebih banyak. Pada pemilu yang digelar pasca reformasi 1998 lalu, partai Islam banyak bermunculan bak cendawan di musim hujan. Namun, dari sekian banyaknya partai politik berhaluan Islam itu, hanya Partai Keadilan (kini Patai Keadilan Sejahtera, atau PKS) yang mampu eksis hingga kini, dan bahkan berkembang secara cukup signifikan. Dari sekian jajak pendapat dan survei yang dilakukan, pamor PKS secara perlahan-lahan tercatat mulai menyalip Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berhaluan nasionalis-religius (islam moderat), dan bahkan ditengarai akan menjadi pesaing “yang tak bisa disepelekan” bagi partai-partai sekuler yang berkuasa (Demokrat, Golkar, PDIP) pada pemilu 2009 mendatang.
Di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), sebuah partai berhaluan Islam dirian Recep Tayep Erdogan dan Abdullah Gul pada 2001, juga memenangi dua pemilu berturut-turut, yaitu pada 2002 dan 2007. Pada pemilu 2002, AKP berhasil menguasai 340 dari 550 kursi parlemen, sementara pada 2007, AKP meraih 363 dari 550 kursi parlemen. Kemengan ini juga menghantarkan Recep Tayyep Erdogan sebagai Perdana Menteri Turki, dan juga Abdullah Gul sebagai Presidennya.
Nah, yang menarik, fenomena menggeliatnya gerakan Islam Politik di beberapa negara Muslim sebagaimana disebutkan di atas, justru terjadi di saat banyak kalangan banyak mengkritik tajam keberadaan Islam Politik, disamping meramalkan jika abad ke-21 adalah babakan gagal dan tamatnya riwayat Islam Politik.
II. Quo Vadis Islam Politik
Secara sederhana, Islam politik dapat diartikan sebagai gerakan Islam yang berorientasi kepada perjuangan politik dalam rangka mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam. Kalangan Islam Politik memiliki argumen yang berpijak pada adagium bahwa Islam adalah sistem pemikiran global dan menyeluruh (kâffah dan syumûl), termasuk di dalamnya adalah politik. Antara Islam dan Politik adalah dua sisi mata uang yang silih berkaitan, berkaitkelindan dan tidak dapat saling dipisahkan. Islam membutuhkan politik sebagai wasilah, demikian juga politik menghajatkan Islam sebagai muara asas dan ghayah.
Sebagian kalangan ada mencibir gerakan Islam Politik sebagai gerakan omong kosong, penuai kegagalan, penjual ayat-ayat Tuhan, sekaligus reduksisasi agama (dalam hal ini Islam). Dari segi reduksasi agama, misalnya, Muhammad Arkoun, pemikir Muslim kontemporer Prancis asal Aljazair, dalam salah satu karangannya, al-Islâm, al-Akhlâq, wa as-Siyâsah secara tegas mengkritik wacana politik Islam dan Islam politik. Hemat Arkoun, Islam dan politik adalah dua hal yang berseberangan dimensi. Agama adalah sesuatu yang bersifat kudus dan absolut, sementara politik lebih bersifat “kotor” (dhidd al-qudsiyyah) dan profan. Ketika dua hal yang, dalam bahasa Arkoun, “silih bertentangan” ini dipadukan, maka yang terjadi adalah absurditas. Islam yang sakral akan dibawa dan diseret-seret dalam wilayah politik yang kotor dan korup, dan pada akhirnya akan merusak samawiyah Islam itu sendiri.
Kritik tegas juga datang dari Islamolog kawakan asal Pracis, Oliver Roy. Dalam bukunya, L’Echec de I’Islam Politique, Roy menyatakan bahwa aktivitas-aktivitas Islam yang berorientasi politik atau “Islam politik” telah gagal menawarkan model masyarakat baru maupun masa depan dunia Islam yang cerah. Kenyataan yang ada adalah justru sebaliknya: Islam hanya dijadikan komoditas jualan-politis tanpa menghasilkan perubahan apapun.
Kemenangan politik kaum Islamis di negeri Muslim hanyalah membawa perubahan superfisial di bidang hukum dan adat istiadat. Islamisme, belakangan, berubah menjadi tipe neo-fundamentalisme yang hanya peduli pada penegakan kembali syari’at Islam, tanpa menciptakan bentuk-bentuk politik yang baru. Perekonomian yang mereka gagas hanyalah retorika belaka, sekedar menyelubungi bentuk sosialisme dunia Islam maupun liberalisme ekonomi. Yang kemudian terjadi adalah, realitas sosial-ekonomi yang menopang gelombang Islamisme tetap berjalan di tempat dan tidak kunjung berubah: kemiskinan, alienasi, krisis nilai dan identitas, kemerosotan sistem pendidikan dan seterusnya (Anjar Nugroho: 2007).
Apa yang dilayangkan oleh Arkoun dan Roy tidak sepenuhnya mutlak keliru. Keduanya juga berangkat dari kenyataan sejarah, sosial, politik, dan budaya negara-negara Muslim, apalagi jika memang mengaca kepada Saudi Arabia dan Taliban-Afganistan. Kedua entitas tersebut adalah wujud paling nyata atas gagalnya “politik Islam” dan “Islam politik” seperti yang digambarkan di atas. Kritikan Arkoun dan Roy sangat mengena dalam hal ini. Di satu sisi, Saudi Arabia adalah perwujudan negara Islam, namun di sisi yang lain Saudi Arabia juga adalah negara yang korup. Keadaan hidup di Saudi Arabia juga sangat tidak mencerminkan dari apa yang dikatakan Islami dan berperadaban. Yang ada justru sebaliknya, Saudi Arabia tak lebih beda dari perwujudan masyarakat badui yang hidup dalam jubah agama dan gelimpah kemodernan. Demikian juga di Afganistan masa Taliban, kemiskinan, alienasi, krisis nilai dan identitas, serta kemerosotan sistem pendidikan—sebagaimana yang dinyatakan Roy—adalah penerjemahan langsung tak langsung dari rezim Islam Politik yang bercokol di negeri itu.
Namun, tidak dibenarkan juga jika kita menutup mata dari faktor-faktor lain yang turut membidani lahirnya fenomena Islam Politik, utamanya di negara-negara Muslim yang disebutkan di atas. Salah satunya, menguatnya geliat Islam dan menggelombangnya gerakan Islam Politik adalah sebagai bentuk kekecewaan mereka atas gagalnya penguasa, yang berhaluan Islam Sekuler, dalam membangun kesejahteraan rakyat dan negara. Kemunculan Islam Politik dalam kasus ini lebih bisa diterjemahkan sebagai sebentuk “purik”, reaksi, dan bahkan perlawanan atas status quo yang korup, tiran, dan tak kunjung membawa perubahan berarti.
Jadi, jika selama ini logika yang dipakai untuk menganalisa Islam Politik adalah “menjual agama demi meraih kekuasaan”, maka pada kasus ini selayaknya logika tersebut sesekali harus dibalik, yaitu “menjadikan agama sebagai spirit persatuan, pembebasan, dan perubahan”.
Tentu saja, keberadaan Islam Politik di setiap negara memiliki ideologi dan fenomenanya masing-masing. Sementara ini, banyak kalangan yang menganggap jika ideologi yang dibawa oleh kalangan Islam Politik adalah ideologi Islam yang keras, kaku, jumud, anti-pencerahan, anti-kemajuan, anti-Barat, anti-demokrasi, anti-sekulerisme, dan seterusnya. Bagi sebagian gerakan Islam Plitik yang ada, bisa jadi kenyataannya memang demikian.
Namun, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Turki memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri dari sekian banyak fenomena Islam Politik yang ada. Di tengah anggapan banyak kalangan yang menggambarkan perwujudan Islam Politik sebagai penjelmaan Islam yang keras, kaku, anti-sekuler, dan anti-demokasi itu, AKP Turki justru berhasil membalik dan bahkan merubuhkan mitos di atas.
III AKP Turki: Fenomena Baru Islamis-Sekularis
AKP Turki benar-benar fenomena baru dalam lanskap sejarah politik Islam (as-Siyâsah al-Islâmiyyah), sekaligus gerakan Islam politik (al-Islâm as-Siyâsi). AKP Turki mampu memadukan secara baik dua unsur yang selama ini kerap dipandang bertentangan, yaitu Islamisme dan Sekulerisme. AKP Turki juga mampu merubuhkan tesis yang dikemukakan Olover Roy, yang menyatakan jika “Islam Politik gagal menawarkan model masyarakat baru maupun masa depan dunia Islam yang cerah. Islam Politik tak ubahnya hanya berupa gelombang yang tetap berjalan di tempat, mule-mulek, dan tetap menyisakan sejuntai permasalahan real yang tidak kunjung berubah: kemiskinan, alienasi, krisis nilai dan identitas, kemerosotan sistem pendidikan dan seterusnya”.
Namun tidak demikian halnya dengan AKP. Paska partai Islami itu berkuasa dan memimpin negara, keadaan Turki justru perlahan-lahan bergerak menuju perbaikan, dalam segala sektor: ekonomi, budaya, agama, politik, infrastruktur, pendidikan, dan seterusnya. The Economist (TE), sebuah majalah terkemuka di Amerika, memuji keberhasilan kaum Islamis-AKP dalam memimpin Turki. AKP diamat TE berhasil mengangkat Turki dari keterpurukannya dalam segala dimensi, utamanya ekonomi dan pendidikan.
Di akhir masa pemerintahan kubu sekuler, ekonomi Turki benar-benar terpuruk. Negara Timur-Muslim yang dipaksa untuk menjadi Barat-Sekuler sejak 1924 dibawah gerakan Kemalisme itu mengalami inflasi ekonomi yang sangat tinggi (hingga 41 %). Mata uang Lira Turki pun jatuh hingga sampai titik terburuk. Bisa dibayangkan, hingga tahun 2001 saja, 1 Dolar Amerika sama dengan 1.500.000 Lira Turki.
Namun, setelah pemerintahan dipegang dan dijalankan oleh AKP, beberapa perbaikan pun segera terjadi. Di bawah kepemimpinan Recep Tayep Erdogan, sang za’îm AKP yang kemudian menjadi perdana menteri, kondisi Turki segera bergerak ke titik yang lebih baik. Dan semua itu terjadi dalam kurun waktu yang tak lebih dari satu dekade.
Sektor Ekonomi yang semula morat-marit pun segera pulih. Inflasi dapat dikendalikan dan perlahan-lahan menurun, bahkan mampu mencapai pertumbuhan 8%. Perekonomian tumbuh konsisten 8% pertahunya. Mata uang Lira pun menguat. Pada tahun 2005, 1 Dolar Amerika (USD) sama dengan 1,5 Lira Turki Baru (YTL) saja.
Kuatnya sendi ekonomi dapat membantu mengatkan sendi-sendi negara lainnya, utamanya infrastruktur. Pada masa pemerintahan AKP, pembangunan pun terjadi dalam skala yang pesat di kota-kota. Di tengah krisis global yang menjadikan banyak negara di dunia mengalami kebangkrutan dan kehilangan lapangan pekerjaan, Turki justru mampu bertahan dan bahkan terus membuka peluang-peluang kerja. Maka tak heran, jika orang-orang pedesaan dan pelosok yang pada masa pemerintahan kubu sekuler tidak pernah mengalami keuntungan ekonomi yang hanya berkembang di kalangan elit, di masa AKP, mereka dapat merasakan keuntungan tersebut: mereka pun berbondong-bondong menuju kota sekaligus dapat menjadi pekerja dan penguasaha.
Selain itu, AKP berhasil menempatkan Turki dalam posisi yang bermartabat di tengah kancah politik internasional. Turki kini menjadi mitra kehormatan Uni Eropa (UE). Pemerintahan AKP juga gencar mereformasi birokrasi, undang-undang, menerima traktat HAM, menegakkan demokrasi, tetap menerima sekulerisme, menerapkan pasar bebas, dan lain sebagainya. kesemua ini jelas menjadikan Islam Politik di Turki memiliki nuansa yang berbeda dari gerakan Islam Politik di negara-negara Muslim lainnya.
AKP adalah sebuah gerakan Islam Poilitik, namun mampu membungkus ideologi Islamnya dengan cerdas dan halus, tidak seperti pendahulunya, Refah Parti (Partai Kesejahteraan, RP), sebuah partai bentukan tokoh Islamis Turki Necmettin Erbakan, yang sempat memenangi pemilu di tahun 1995 namun akhirnya ditumbangkan dan dibubarkan kubu militer-sekuler karena terlalu “apa adanya” (untuk tidak dikatakan kasar) dalam mengusung dan menjalankan ideologi Islamismenya dan dipandang sebagai “musuh sekuler Turki”.
Dan tidak demikian halnya dengan AKP. Partai berlambang lampu yang berpijar ini mampu membungkus ideologi Islamnya dengan cerdas, halus, dan elegan. AKP tidak memusuhi sekulerisme dan demokrasi, tetapi menjadikannya sebagai peluang yang dapat diambil beberapa kemanfaatannya. Meski demikian, AKP tampak tegas dalam menjalankan keislamannya, semisal pencabutan undang-undang pelarangan jilbab di instansi pemerintahan dan pendidikan, pelarangan alkohol di istana negara Cankaya, penguatan hubungan dengan negara-negara Muslim, penghidupan tradisi Islam Turki, memberantas korupsi, dan lain-lain. Hal yang paling terakhir kali terjadi, adalah ketika PM Erdogan melalukan aksi walkout dan mengkritik tajam PM Israel Simon Peres “langsung di hadapan mukanya” dalam forum ekonomi internasional Davos, Swiss, pada bulan lalu, terkait invasi Israel atas Gaza. Sikap tegas Erdogan ini tak pelak memantik gelombang Islamisme yang lebih kuat di seluruh dunia.
AKP juga mampu memegang beberapa kartu truf yang menjadikan kubu sekuler tidak berkutik, semisal proposal anggota Uni Eropa, retifikasi undang-undang, reformasi birokrasi, pengembangan HAM, perbaikan ekonomi, juga pembangunan infrastruktur. Keberhailan AKP dalam menjalankan roda pemerintahannya pada gilirannya menjadikan partai-partai sekuler konservatif Turki lainnya ketar-ketir. CHP (Partai Rakyat Demokratik) pimpinan Denis Beykal yang terkenal ultra-konservatif sekuler, pada akhir-akhir ini (ikut-ikutan AKP) menerima dan mengkampanyekan jilbab, menjalin hubungan mesra dengan imam-imam mesjid dan tokoh-tokoh agama yang semula dimusuhinya, bahkan membuka kelas-kelas hafalan al-Qur’an. Kenyataan ini sangat berbalik dengan tiga tahun silam, ketika CHP menjadi penjaga gawang sekulerisme Turki dan “anti-Islam” yang dikenal sangat radikal.
Pada intinya, AKP secara tegas tengah menghantarkan sebuah pesan: gerakan Islam Politik atau pun Islam Sekuler sejatinya bukan obyek perdebatan, bukan pula boleh tidaknya Islam dijadikan ideologi politik atau bukan. Masalah paling intiya adalah sejauh mana gerakan tersebut mampu mewujukan perubahan dan membawa perbaikan secara signifikan. Apalah artinya Islam Politik jika hanya jargon kosong, dan apa pula gunanya Islam Sekuler jika tak mampu mewujudkan perubahan dan perbaikan. Ini saja. Masalah intinya sangat simpel, sejatiya.
Nah, bagaimana dengan dialektika gerakan Islam di Indonesia?
Oleh: A. Ginanjar Sya’ban, Lc.: Aktifis NU mesir sekaligus Peminat kajian politik Timur Tengah
http://afkar.numesir.com/i







Tidak ada komentar:
Posting Komentar